Namaku Retno 1.20

Posted on 05 Februari 2017 ( 0 comments )


Namaku Retno 1.20

“Kamu pinjam siapa kameranya?” Ningsih bertanya.

 “Punya Mas Arya.”

“Fotonya nanti dicetak?” Retno berkata sambil menoleh memandang Arya.

“Iya nanti Dimas yang ngurus, afdruk sekaligus jadi album keluarga. Sayang Mas Koco tidak hadir.” Kata Arya. “Kapan-kapan kamu foto Mas Koco bersama isterinya dan juga seluruh keluarga.” Katanya kepada Dimas.

“Mas Koco dinas luar kota.” Kata Ningsih.

Habis makan, Dimas mengajak ke café yang sedang memainkan live-music. Organ tunggal mengiringi penyanyi wanita yang sedang melantun lagu “sepasang mata bola”. Dimas dan Arya mengapit Retno di sofa. Didepannya Bambang dan Susi serta Darma.

Dimas menulis di atas secarik kertas, dia melangkah menuju panggung lalu menyodorkan kertas kepada pemusik itu.

Ketika lagu “sepasang mata bola” selesai, pemusik organ mengumumkan. “Malam ini kami mendapat sumbangan lagu dari seorang bernama Retno. Silahkan Mbak Retno, maju ke depan.” Dia langsung menuntun dengan musik intro. 

Arya tidak terkejut, dia tahu Retno menyanyi dua lagu di pesta reuni. Tetapi dia tak sempat mendengar karena datang terlambat. Kini dia bisa mendengar suara si gadis, dia memandang Retno yang tersipu-sipu.

Bambang dan lain-lainnya bertepuk tangan. Beberapa tamu ikut tepuk tangan meskipun belum pernah mendengar suara Retno. “Kurangajar si Dimas.” Bisik Retno. “Mas, jangan ketawain aku loh.”

Agak enggan, tetapi tidak canggung, Retno melangkah menuju pentas. Dia berbisik kepada pemusik pria itu yang kepalanya manggut-manggut sambil mencoba menyelaraskan tangga nada. Saat berikut Retno memegang mike dekat di mulutnya.

“One two three four…. Well, she was just seventeen ….., you know what I mean …., and the way she looked …. was way beyond compare…, so how could I dance with another…. wooohhh …. when I saw her standing there…. Well she looked at me…, and I…, I could see….. That before too long… I'd fall in love with her…., she wouldn't dance with another…. Wooohhh…. When I saw her standin' there …. “

Retno melantunkan lagu rock versi The Beatles itu dengan gerak tubuh, goyang dan meliuk serta hentakan tangan mengikuti irama sweet-rock tahun enampuluhan itu. Suaranya yang merdu dengan aksen Inggeris medok Jawa sangat memesona. Tak hanya Arya yang tercengang, beberapa tamu menunda minum. Mata mereka menatap tak percaya, gadis cantik seksi yang menyanyi begitu memesona.

Ketika lagu selesai, terdengar tepuk tangan. Retno merunduk kepalanya, memberi hormat dan berterimakasih atas tepuk tangan itu. Ketika itu organ pemusik pria itu melantun kembali dalam beat bossanova. Retno masih memegang mike dan sambil memandang ke arah Arya dia melantun lagu Jawa bossanova.

“Jenang gulo, kowé ojo lali, mareng aku iki, yo kangmas, nalikané nandang susah, sopo sing nganceni, dhèk semono, aku tetep tresno, lan tetep setyo yo kangmas, Dèrèng naté, gawé gelo lan gawé kuciwa, ning saiki, bareng mukti, kowé kok njur malah lali, marang aku sithik-sithik mesti nesu, terus ngajak padhu, jo ngono lho jo ngono, opo kowé, pancèn ra kèlingen, jamané dhèk biyèn, yo kangmas, kowé janji, bungah susah, podho dilakoni.”

Kali ini suara merdu Retno terdengar jelas, aksen medok Surabayaan serta gerak tubuh dan tangan yang luwes lembut, serasi dengan lirik pernyataan cinta seorang gadis yang memohon agar kekasihnya tidak melupakannya.

Dia menyanyi dengan perasaan yang sungguh-sungguh menyinta.

Jika Mas Koco tampaknya tidak mendukung hubungan Retno dengan Arya, sebaliknya Ningsih sangat mendukung. “Aduuuhhh Retno… kamu lagi kasmaran sama siapa dik…” Kata Ningsih sambil melirik Arya yang duduk agak jauh darinya.

Ketika lagu “jenang gulo” selesai sekali lagi tepuk tangan para tamu yang membuat Retno tersipu-sipu membungkuk hormat sambil berkata “terimakasih.”

Dia melangkah ke tempat duduknya di samping Arya. “Gara-gara Dimas, aku jadinya malu sama kamu.”

“Lho kenapa malu, suaramu dan gayamu nyanyi menakjubkan, kalau ada produser tampaknya kamu akan ditawari bikin album.” Kata Arya yang masih terpesona.

“Benar Mas, sudah ada agen yang mendekati Retno, menawarkan jadi penyanyi,  lagunya khas bossanova Jawa.” Kata Bambang Susetiyo.

“Sudah jadi albumnya?” Tanya Arya.

“Ndak Mas, kutolak secara halus.” Kata Retno malu-malu. “Ibu juga ndak mau.”

“Kenapa menolak, suaramu bagus, kamu bisa tenar.” Tegas Arya antusias.

“Ndak mau. Aku ndak mau jadi artis. Menyanyi di kamar mandi atau kalau ada resepsi teman, itu saja sudah cukup.” Kata Retno lirih.

“Foto Mbak Retno waktu nyanyi banyak. Semuanya keren.” Kata Dimas.

“Mana kulihat.” Kata Retno mendesak.

Ketika Dimas duduk di sebelah Retno dan membuka satu per satu foto yang dia abadikan malam itu, semua berkerumun di belakang Retno. Dan Arya yang duduk dekat Retno terpaksa merapat ke tubuh si gadis. Terdengar komentar macam-macam dari saudara-saudaranya,

Retno hanya mendengar suara degup jantungnya ketika paha dan pantat Arya merapat ke paha dan bokongnya. Arya pun merasakan rangsangan birahi yang luar biasa.

Mereka masih ngobrol sebelum akhirnya menutup acara undangan makan itu..

      Ketika pamitan, Retno berbisik lirih. “Mas jangan lupa telpon aku.”

      “Pasti wongayu.” Bisik Arya. “Malam-malam kutelpon, kalau kebetulan aku ndak bisa tidur, boleh?”

      “Boleh Mas. Aku temanin kamu ngobrol.” Sahut Retno.

      Keduanya berbisik-bisik sambil melangkah di belakang rombongan.

      “Eh Mas Arya, kita diantar mobil?” Kata Ningsih yang menoleh ke belakang dan tersenyum melihat Arya dan adik iparnya jalan berdampingan sambil bisik-bisik.

      “Iya, diantar, kalau mau mutar-mutar silahkan saja, tidak terbatas.” Kata Arya.

“Boleh kita pake ke jembatan Suramadu, melihat pemandangan waktu malam. Mungkin sebaiknya Mas Arya ikut sekalian.” Kata Susi.

“Baik, aku ikut.” Jawab Arya. “Tapi tunggu sebentar, aku perlu bicara dengan Dimas.” Dia menarik tangan Dimas.

Arya merogoh kantongnya, menarik keluar uang seratusan. Menghitung limabelas lembar. “Ini satu setengah juta, buatkan album dan cetak foto. Bagi-bagikan kepada mereka, buatkan satu album untuk aku. Kirim via Pos Kilat ke kantorku, alamatnya tertera di kartu namaku.” Arya juga menyodorkan kartu namanya.

“Artinya kamera kubawa sementara?” Dimas memandang Arya dengan pandangan penuh arti. “Kan mau motret Bapak Ibu dan Mas Koco?”

“Aku tahu pandangan matamu itu, tapi sayangnya kamera itu sudah kujanjikan untuk mbakyumu, kapan-kapan kamu bisa pinjam?”

Dimas tertawa. “Kalau sudah jadi milik Mbak Retno aku bisa pinjam kapan saja.”

“Jangan lupa kirim album itu ke kantorku. Sekalian kamu copy di flash-disk dan kirim juga.”

“Beres. Begitu selesai afdruk, dan kutempel di album, langsung kukirim.” Lalu dia menarik tangan Arya. “Ayo Mas, mereka ndak sabaran menunggu kita, apalagi Mbak Retno pasti mau duduk dekat kamu.”

“Dim, aku minta nomor hapenya Mas Koco, tapi rahasiakan!” Bisik Arya.

“Buat apa Mas?” Dimas menatap curiga.

“Rahasia! Kamu punya?”

Dimas menyebut sederet angka dan Arya memencet tuts hapenya, mencatat.

Arya tersenyum, melangkah menghampiri Retno.

Di mobil Arya dan Retno duduk di jok belakang, berdempetan. Arya merasa nyaman. “Kamu suka lagu keroncong tapi tadi itu bossanova Jawa.” Kata Arya.

“Jaman sekarang ini anak-anak muda tak lagi suka lagu keroncong, makin lama budaya Jawa ini akan tergerus dan hilang dari tanah Jawa. Padahal lagunya enak, liriknya romantis, membuat pendengarnya merasa nyaman tenteram dan rileks. Ini obat anti stress. Ada kiat yang kubaca di majalah, bahwa trik meredam stress akibat lalulintas macet yakni menikmati lagu-lagu keroncong di mobil.”

“Tapi kamu menyanyikan bossanova Jawa.”

“Itu salah satu terobosan memancing orang muda kembali menyukai keroncong. Untuk menyukai bossas Jawa, kita perlu menikmati yang asli seperti the girl from ipanema dinyanyikan Astrud Gilberto itu lagu favoritku selain quando quando quando era tahun 1960-an.”

“Kamu belum lahir.”

      “Mas juga belum lahir, tapi aku punya rekamannya.” Lalu Retno menyanyikan salah satu lagu favoritnya. “Tall and tan and young and lovely…. The girl from ipanema goes walking…. And when she passes…., each one she passes goes… ah ah ah…. When she walks…, she’s like a samba…. That swings so cool and sways so gentle…. That when she passes…., each one she passes goes…  ooh oohh oohh… but I watch her so sadly…. How can I tell her I love her….. Yes I would give my heart gladly….. But each day, when she walks to the sea…. She looks straight ahead…, not at me….”

      Retno tertawa malu. Arya makin terpesona, bertepuk tangan begitu juga saudara dan ipar Retno. “Kalau Retno lagi seneng, dia nyanyi terus.” Komentar Ningsih.

      “Pasti itu alasan kamu masuk sastra Inggris?” Tanya Arya ingin tahu.

      “Sastra Inggris itu buat cari kerja, cari duit. Sastra Jawa untuk kepuasan batin. Tahu ndak Mas, waktu di es-em-a aku ikut kelas tari tradisional. Sayang hanya dua tahun, karena satu per satu siswinya bubar, katanya bosan. Karena tinggal aku dan temanku Wati, yah akhirnya kelas itu bubar. Tapi beranjak dari situ aku coba dansa ala Barat, ternyata gampang. Cuma mengatur langkah, goyang pinggul dan pantat. Tari Jawa jauh lebih sulit, ada gerak jari tangan, gerak leher, menekuk kaki, memutar tumit dan ujung jari kaki, mata pun ikut dimainkan. Semuanya berbarengan dan sesuai irama lagu, makanya banyak orang muda kita ndak mau belajar, menganggapnya sulit dan complicated tapi anehnya wanita Barat banyak yang belajar tari tradisional Jawa.“ Tutur Retno bagaikan seorang dosen memberi kuliah.

      “Kamu penasaran?” Arya bertanya.

      “Iya jelas penasaran, lama-lama kebudayaan kita terkubur di bumi sendiri. Padahal banyak lagu jawa yang menarik, misalnya ”cublak cublak suweng suwenge ting gulendher,  gundul pacul, sluku sluku bathok, suwe ora jamu” Tidak lama lagi lagu-lagu ini terkubur. Sementara lagu Barat, atau pop Indonesia atau rock cadas menjamur di mana-mana. Menyedihkan yah Mas?”

      “Aku ikut sedih kalau kamu sedih. Tapi apa yang bisa kamu perbuat?” Arya memperlihatkan wajah murung, pura-pura sedih. .

      “Dalam setiap kesempatan, pesta keluarga atau apa saja aku akan menyanyi lagu keroncong atau bossas Jawa.”
( Bersambung 1,21 )
                                                                               ***


Comments


  Verification Code

  Name

  Email

  Homepage





Image Gallery

Service Overview

Curabitur sed urna id nunc pulvinar semper. Nunc sit amet tortor sit amet lacus sagittis posuere cursus vitae nunc.Etiam venenatis, turpis at eleifend porta, nisl nulla bibendum justo.

Contact Us


E-mail: info@johnhalmahera.com