Lingon Togutil eps 13

Posted on 17 Juli 2017 ( 0 comments )


Lingon Togutil eps 13

Benar dugaannya kuku jari tangan Berebere mengandung racun. Kuku yang kotor tidak pernah dibersihkan menyimpan kotoran yang berubah menjadi racun ganas.

            Tangan Karin meraba dada sekitar luka, terasa panas. Kening dan lehernya juga panas. Ingat akan ajaran bibi Titam, itulah tanda demam disebabkan keracunan.               

            Karin batal membangunkan Kalai. Perlahan-lahan dia meletakkan kepala Kalai di rumput. Dia berpikir. “Racunnya ganas! Ramuan Kalai tidak mempan. Apa yang harus kulakukan untuk menolong.”

            Dia ingat suatu hari menjenguk Titam, bibinya sedang menolong seseorang yang lukanya parah. Luka mengandung racun ganas. Titam mengambil daun yang bentuknya agak lebar. “Ini daun lolowo, manjur untuk penyembuhan luka yang terkena senjata beracun.” Bibinya memanggang daun itu sampai panas dan agak kering, lalu menempelkan ke luka.

            “Daun ini tumbuh dimana-mana, mudah ditemukan tetapi tidak banyak orang tahu khasiatnya.”Tutur Titam waktu itu.

            Karin memerhatikan keliling. Tidak jauh dari tempatnya tampak tanaman yang dicari. Dia mengambil beberapa lembar, membuat api kemudian memanggang.

            Sesaat lembar daun yang panas menempel luka, Kalai bereaksi.                   

            “Aaagghhh … aaaghhh …” Kalai menggeliat, tetapi matanya tetap terpejam.

            “Kamu keracunan, daun panas ini akan menyembuhkan.” Bisik Karin di telinga Kalai. “Tidur terus, aku menjagamu, merawatmu.”

            Karin memerhatikan wajah Kalai yang tidur pulas. “Dia mencintaiku, sangat cinta. Aku juga cinta. Tetapi aku berlaku tidak adil. Seharusnya aku membiarkan dia meniduri aku.”

            Kalai bergerak. Tetapi masih tetap pulas.

            Hari mulai sore. Karin meraba kening dan luka Kalai. Tidak panas. Suhu badan Kalai telah normal. Tampak lukanya mulai kering, daerah sekitar luka yang tadinya merah lebam kebiruan, kini normal kembali. “Racun sudah lenyap.” Gumam Karin.

            Karin gembira Kalai sehat kembali. “Apa jadinya aku jika Kalai mati? Aku akan sendirian di hutan lebat ini, tidak tahu harus kemana. Bagaimana jika bertemu petarung jahat. Malam-malam aku tidur sendirian, tak ada Kalai yang memeluk dan menolong  dari gangguan ular dan petarung jahat.

            “Tidak! Kalai tak boleh pergi dari sisiku, dia harus melindungi aku setiap saat. Aku harus memberinya apa yang dia inginkan, dia ingin tubuhku, ingin meniduri aku. Dan aku akan memberinya, esok malam akan kugoda dan menariknya kedalam pelukanku. Kata Titam, juga kata ibu, bahwa dengan kecantikanku aku mampu menaklukkan lelaki, membuat mereka tergila-gila padaku dan tak sanggup pergi jauh.”

            Karin tertawa lirih akan pikiran liciknya.

Hari 5

Sore keesokan hari luka Kalai mengering. Sejak siang Karin mulai menggoda, sentuhan tangan yang lembut di daerah sensitif, merapat tubuhnya ke badan si lelaki.

            Kalai berkata lirih. “Kamu menggodaku...”

            “Tidak. Kamu yang merasa tergoda. Kamu memeluk aku.”

            Kalai menggerutu. “Tidak. Kamu yang merapat.”

            “Jangan bohong! Kamu yang memeluk aku.”

            ”Huuuuh.. Berdebat dengan kamu, aku selalu kalah.”

            Gadis Lingon itu tertawa kecil. Sengaja makin merapat badannya ke badan Kalai sehingga setiap melangkah keduanya bersingungan. “Hi hi hi... Lai kamu sengaja mengalah, membiarkan aku menang. Mengapa?”

            Pikiran Kalai sudah kemana-mana. “Karena... karena...”

            “Karena apa?”

            Kalai marah pada diri sendiri. “Karena aku menginginkan dirimu...”

            “Seberapa besar keinginanmu?”

            “Aku ingin memerkosa kamu.” Kalai menggerutu.

            Karin berhenti melangkah, menarik lengan Kalai, keduanya berhenti melangkah, berhadapan. Karin menatap, mata melotot. Kalai tak berani menatap mata si gadis yang melotot marah. Kalai membanting muka ke tempat lain, menghindar. Dua tangan Karin memegang wajah Kalai menghadapkan ke mukanya.  Menatap mata Kalai.

            “Tatap aku. Berani memerkosa? Aku akan bunuh diri.....! Kamu lupa janjimu ?!”

             “Ingat. Aku ingat janjiku... Tetapi tahukah kamu betapa aku tersiksa...”

            “Kenapa tersiksa? Aku tidak menyiksamu.”

            Kalai terpojok. “Aku menginginkan kamu, tetapi itu sesuatu yang tak mungkin kudapat, aku tersiksa Karin... Itu siksaan berat bagi seorang lelaki...”

            “Kamu menginginkan aku, setelah kamu dapat, setelah kamu meniduri aku, lantas kamu pergi tinggalkan aku.... kata ibuku... itu hal biasa yang dilakukan lelaki .... semua lelaki penipu... mungkin juga kamu seperti itu...”

            Kalai terkejut. Gagap dia menyangkal. “Ti ... ti... tidak Karin... Tidak benar. Aku akan menemani kamu setiap saat... Tak mungkin aku tinggalkan kamu... Aku cinta... dan menginginkan kamu lebih dari segala apa yang kupunya.. Aku punya simpanan perhiasan dan uang emas. Aku akan membuat rumah dan membeli perahu.... untuk kamu...”   

            Karin berbisik. “Aku ingin kamu tetap disisiku, aku takut sendirian.”

            Kalai memeluk, mengelus kepala si gadis. “Kamu tidak pernah sendiri, aku akan ada disisimu setiap saat... jika kamu mau menerima aku sebagai suami....”

            Karin tidak menjawab. Dia diam menikmati pelukan tangan perkasa itu. 

            Mereka berjalan mencari tempat bermalam. Mereka temukan gubuk bekas pejalan hutan. Setelah memperbaiki beberapa bagian yang rusak, gubuk itu siap ditempati.

            Karin menuruti naluri dan juga hasratnya. Malam dingin, Karin membungkus badannya dengan selimut. “Lai, aku mengundang kamu masuk.” Bisiknya.

            Hujan gerimis. Kalai  lupa segalanya, dia tergila-gila akan tubuh si gadis.

Hari 6

Karin menjalani hidup baru. Dia gembira telah menetapkan keputusan penting dalam hidupnya. Sejak malam kehilangan perawan Karin sadar akan cintanya pada Kalai. Perjalanan ke Watam ditempuhnya dalam suasana gembira. Setiap malam dia menarik Kalai memadu cinta bahkan sewaktu istirahat siang hari.

            Terjadi perubahan dalam perilaku gadis Lingon itu. Tadinya jinak-jinak merpati, beralih ke sikap agresif dalam menyatakan cintanya. Hal ini membuat Kalai makin terperosok dalam jejaring cinta dan hasrat yang ditebar gadis cantik itu.

            Keduanya ibarat pengantin sedang berbulan madu. Perjalanan ke Watam diwarnai cinta dan hasrat. Namun Kalai tetap waspada akan lingkungan sekitar dan jalanan di depan. Pagi mereka berjalan cepat, siang istirahat makan. Sore jalan sampai waktu istirahat malam,

Hari 7

Watam, kampung pesisir yang menghadap Samudera Pasifik. Letaknya menjorok ke daratan, terlindung di belahan Selatan Tanjung Wayamli sehingga tidak terimbas ganasnya ombak Samudera Pasifik.

            Karin memandang keliling. Ke arah Timur, Samudera Pasifik yang lautnya biru tidak berbatas. Debur ombak dan angin laut mendatangkan suara desir ibarat siulan. Pohon-pohon nyiur meliuk-liuk diterpa angin.

“Itu laut yang kamu ceritakan?” Karin memandang kagum.

“Lautnya luas tidak berbatas.” Tutur Kalai.

“Luas dan indah. Pasti banyak ikan.”

Siang itu matahari terik. Tampak kelompok lelaki dan wanita berbondong keluar dari masjid setelah menunaikan salat duhur. Hampir semua memandang Kalai dan Karin. Pandangan penuh selidik dan curiga.

Mereka pasangan yang unik.

Kalai mengenakan celana sebatas lutut dan kemeja butut yang robek di beberapa tempat dengan gagang pedang menonjol dari balik punggungnya. Buntalan terikat di punggung, satu tangan menenteng tombak, lainnya menggenggam tangan Karin.

Pakaian Karin lebih unik lagi, celana hitam ketat sepanjang betis, kemeja putih kumal dan longgar panjang sebatas paha. Sekilas pandang orang memastikan itulah pakaian lelaki. Warna pakaian Karin kontras dengan kulit tubuh yang putih dan rambut pirang kecoklatan.

“Lai… orang-orang memandang kita, mereka curiga.” Nada suara Karin agak bergetar. “Aku takut… Lai.”

“Tidak perlu takut, mungkin sebab pakaian kita yang tidak biasa. Aku pikir kita harus mencari rumah tempat tinggal dan membeli pakaian yang pantas.”

“Kamu punya uang?”

“Masih ada sisa, tidak banyak.” Kalai melihat tiga lelaki menghampiri.

Kalai mengucap salam. “Salamualaikum.” Sambil melambai tangan.

Tiga lelaki memang berniat menyapa. Mereka berhenti tiga meter dari Kalai.

            Lelaki yang paling tua, jenggot dan rambutnya sudah bercampur uban, membalas salam. Tatapan matanya tajam.  “Aku Burhan kepala kampung, kalian datang dari mana dan hendak kemana?”

“Namaku Kalai, dan ini istriku, kami datang dari lereng Watowato. Kami lolos dari kejaran orang-orang Lingon yang ingin menawan istriku. Lima hari kami nginap di hutan, kami mencari tempat menginap di kampung ini.” Ketika Kalai memperkenalkan Karin sebagai istri dia menoleh si gadis.

Dan Karin yang cerdas mengerti situasi, sengaja merapat ke badan Kalai. “Aku berharap Bapak membantu kami, aku bisa bekerja apa saja untuk membayar ongkos nginap dan pakaian ganti.” Ujar Kalai.

Tutur bicara Kalai yang sopan dan merendah sungguh berbeda dengan parasnya yang kejam kaku. Kepala kampung menatap Karin, menemukan wajah cantik yang polos seakan tak punya dosa. “Gadis Lingon ini tampak ramah, tidak seperti cerita orang tentang orang Lingon yang liar dan ganas.”

Berpikir demikian kepala kampung berunding dengan dua temannya.

“Tolong panggil kapitan adat dan imam masjid datang ke rumahku.” Katanya kepada dua temannya.

Kepala kampung mengajak Kalai berdua Karin ke rumahnya. Mereka duduk di serambi rumah.

“Agamamu Islam?”

Kalai mengangguk. Lalu melanjutkan dengan lirih. “Tapi aku tidak tahu banyak tentang agama.”

“Kamu petarung?”

“Dulu aku seperti itu, tetapi sejak menemukan istriku ini aku niat mengubah hidup,  ingin hidup seperti orang biasa, punya rumah, bekerja dan memberi makan anak istriku.” Kalai berhenti sesaat, menatap lawan bicaranya. 

Kalimat terakhir ini terucap begitu saja, spontan tanpa rencana. Saat itu Kalai merasa apa yang dia katakan adalah keinginan yang sungguh-sungguh keluar dari hati sanubarinya.

Kepala kampung yang berusia sekitar limapuluhan tersenyum. “Dulu aku juga pengembara hutan yang sering terlibat tarung. Kemudian insyaf dan melepas senjataku. Banyak lelaki di kampung ini mantan petarung. Sebagian mereka ikut berjuang melawan Walanda dalam perang Rogulamo Jailolo beberapa bulan lalu.

Saat itu seorang wanita berusia empatpuluhan keluar dari dalam rumah membawa nampan berisi makanan, kasbi[1] rebus, ikan bakar dan sambal. Seorang gadis remaja membawa nampan berisi gelas minuman.

“Silahkan makan.” Kata wanita yang parasnya manis keibuan.

“Dia istriku, ibu dari lima anak. Ini anakku paling kecil.” Kata kepala kampung.

“Terimakasih, bapak dan ibu baik hati, memberi kami makan.” Kalai merendah.

“Kami memang lapar.” Tukas Karin tanpa malu melahap ikan bakar.

“Tak mengapa, makanlah yang kenyang. Kami wajib membantu orang yang kesulitan. Tanpa mengharap balas jasa.”

“Sekali lagi kami ucapkan terimakasih.” Ujar Kalai.

 “Sudah berapa lama kalian menikah?” Kepala kampung menatap Kalai. 

Sesaat Kalai bingung.

Karin menyahut polos. “Baru dua hari.

Kontan kepala kampung terkejut. “Oh pengantin baru, kalian menikah dimana?” Dia menatap Kalai kemudian beralih ke Karin.

Kami belum menikah, hanya ikrar akan menikah. Sesungguhnya kami ingin menikah di kampung ini.” Tutur Kalai.

Burhan tertawa. “Tidak usah kawatir, hal itu bisa diatur.

“Boleh kami menikah di sini?” Karin telah menetapkan keputusan. Dia ingin  nginap di Watam, dan satu-satunya jalan hanyalah menikah resmi. Dia ingat cerita Bido bahwa pernikahan dalam adat suku Pesisir berbeda dengan Lingon. “Aku sebatangkara tidak punya keluarga atau kerabat, harus ada yang melindungiku, lelaki yang perkasa dan yang mencintai aku. Siapa lagi kalau bukan Kalai?”

Kalai tidak menyangka Karin berubah pikiran tanpa memberitahunya. Semula berkeinginan keras menikah di Waijoi, mendadak menikah di Watam. Tetapi perubahan itu membuatnya girang. Dia memandang Karin yang tersenyum.

“Kalian bisa menikah di sini, hal itu akan kita bicarakan dengan bapak Kapitan Adat dan Imam Masjid.”

“Kapan kami bisa bertemu mereka?” Karin mendesak.

“Mereka akan datang kemari.” Dia berhenti sesaat kemudian menunjuk. “Itu mereka datang.”

“Kami mencari tempat menginap dan pakaian untuk istriku, tetapi aku tidak punya uang untuk membayar.” Tutur Kalai terang-terangan. Dia tahu uangnya tidak mencukupi untuk biaya menginap, makan dan pakaian.

“Kamu bisa bekerja?”

“Mendirikan rumah, memperbaiki rumah. Itu keahlianku.”

Sesaat kepala kampung menatap tajam. “Benarkah?

Kalai mengangguk. “Aku pengalaman bikin rumah di Hatetabako dan Lolobata.”

“Kebetulan, aku butuh tukang untuk memperbaiki rumah anak gadisku, hadiah pernikahan. Tukang yang biasa telah pindah ke Maba.” Tutur Burhan.

Usia Kapitan Adat dan Imam Masjid sebaya dengan Kepala Kampung, sekitar limapuluhan. Keduanya memperkenalkan diri. Kepala Kampung memperkenalkan Kalai dan Karin. Sesaat mereka terdiam mengetahui Kalai dan Karin bukan suami istri.

Kapitan Adat di setiap kampung adalah orang pilihan. Selain mantan petarung juga menguasai hukum adat. Dia harus mampu bertindak tegas.

“Kalian berdua tidak boleh tinggal serumah. Ini aturan adat, tidak boleh dilanggar.” Tegas Kapitan Adat.

“Kami akan menikah.” Karin memotong cepat, dia tahu aturan adat, seperti cerita Bido kepadanya, bahwa untuk tinggal serumah lelaki dan wanita harus menikah dulu.

“Aku hanya  menikahkan dua orang yang sama-sama beragama Islam. Tidak ada paksaan, terserah kalian.” Kata Imam Masjid.

“Kalian boleh tinggal di rumahku di kamar belakang selama kalian bekerja memperbaiki rumah anak gadisku. Tetapi seperti kata Kapitan Adat, kalian harus suami istri.” Kepala Kampung memanggil istrinya, menyuruh mengantar Karin ke kamar mandi dan memberinya pakaian ganti. Dia memberi pakaian miliknya kepada Kalai.

Sore itu Kalai dan Karin diwajibkan membaca syahadat sebagai ikrar beragama Islam. Cukup lama mereka berlatih sampai akhirnya sanggup membaca dengan fasih.

Pernikahan berlangsung malam itu juga, usai salat magrib. Imam Masjid sebagai penghulu yang menikahkan. Usai pernikahan, Imam Masjid menulis di atas selembar kecil kulit rusa yang telah disamak.

Tulisan bahasa Melayu dengan huruf Arab. “Aku, Haji Mansur Imam Masjid Watam,  menikahkan Kalai dengan Karin disaksikan kepala kampung Burhan dan Kapitan Adat Haji Kamis.” Tertera juga tanggal, bulan dan tahun hijriah dan masehi.

Dia menyerahkan surat kepada Karin. “Simpan. Ini bukti kalian sudah menikah sehingga boleh nginap serumah di semua kampung pesisir.”

( Bersambung eps 14 )



[1] Kasbi : Singkong

Flagcounters

 Flag Counter

Image Gallery

Service Overview

Curabitur sed urna id nunc pulvinar semper. Nunc sit amet tortor sit amet lacus sagittis posuere cursus vitae nunc.Etiam venenatis, turpis at eleifend porta, nisl nulla bibendum justo.

Contact Us


E-mail: info@johnhalmahera.com