Lingon Togutil eps 42

Posted on 24 September 2017 ( 0 comments )


Lingon Togutil eps 42

            Tofor yang duduk berdekatan dengan Jangu dan Dubudeng, angkat tangan. “Aku telah mendengar cerita Ramebete dan Kalai, pendapatku mereka kerjasama mengarang cerita. Untuk memperjelas, kita perlu bukti.”

            “Kami melihat mayat Tabale dengan dua tombak nancap di leher dan dada. Aku, Ramebete, ayah Kipatoma, paman Gamcako dan Korako serta Sousoulol sebagai saksi,” Seru Karin. “Tombak milik Kalai, artinya Tabale dibunuh Kalai.”

             “Aku percaya cerita Kalai, Ramebete dan Karin, tak mungkin mereka  berbohong dalam borfakalak. Aku yakin Tabale membunuh Tude. Kini Tabale  sudah mati. Jadi tak ada gunanya aku menuntut, sejak mula aku tidak berniat menuntut, Tude tewas dalam tarung demi menyelamatkan Ramebete, aku bangga, aku ikhlas.” Tutur Fiyel berurai air mata. “Ibuku juga ikhlas dan tidak menuntut.”

            Tidak demikian dengan Jangu. “Kalian hanya melihat mayat Tabale tetapi tidak menyaksikan tarung. Ramebete menyaksikan tarung, tetapi mungkin Ramebete dan Kalai sepakat berbohong. Kita perlu bukti lain!” Teriak Jangu.

            Warga menyambut dengan berbagai komentar, pro dan kontra.

            “Kami perlu bukti nyata!” Teriak seorang warga.

            “Perlihatkan bukti.” Teriak warga lain.

            Tutumole berdiri. “Ada bukti jejak kaki si pembunuh Ragota yang juga pembunuh Tude. Bekas kakinya ada di kamar Ragota. Sejak kejadian kamar tetap dikunci artinya bekasnya masih ada. Akan kita bandingkan dengan ukuran kaki Kalai. Silahkan beberapa orang ikut aku mengukur jejak kaki itu.”

            Beberapa orang pergi menemani Tutumole. Bekas kaki masih utuh dan kering sehingga tercetak di genangan darah yang juga kering. Mereka kembali ke tempat sidang borfakalak. Muklis dan Kalara mengukur kaki Kalai.

            “Lihatlah tapak kaki Kalai besar sebelah. Telapak kaki kirinya lebih kecil dibanding kanan. Tidak sama dengan jejak kaki di kamar Ragota. Artinya Kalai tidak pernah berada di kamar itu, jadi terbukti tidak mungkin dia membunuh Ragota.” Tutur Tutumole tegas.

            Mabungkas mengangkat tangan. “Ini keputusanku. Satu bukti nyata, pembunuh Ragota dan Tude, adalah Tabale, bukan Kalai!”

            Jangu memotong. “Aku tidak percaya Kalai membunuh Tabale!”

            “Hanya Ramebete yang melihat pertarungan Kalai dengan Tabale, bisa saja kedua orang itu sekongkol.” Teriak Tofor.

            Karin mendekati suaminya, berbisik. Saat berikut Kalai maju dan melepas stagen yang melilit perutnya. “Ini luka bekas sabetan pedang Tabale. Luka beracun.”

            Tampak luka yang belum sembuh dan memperlihatkan bekas yang mengerikan. “Aku tidak tahu racun apa. Sousoulol juga tidak tahu.” Tegas Kalai.

            Semua orang terdiam.

            Tiba-tiba suara Tetetua memecah keheningan. “Itu racun Kasuba! Lihat sekitar luka warna merah kehitaman. Sungguh hebat anak muda ini, sanggup bertahan sekian lama dari racun Kasuba.”

            “Aku yang sembuhkan, dengan ilmu yang kamu ajarkan Tete, lantas Sousoulol yang membuat ramuannya.” Tegas Karin.

            “Aku puas, artinya kamu cucuku telah mewarisi ilmuku, mati pun aku akan rela karena ilmuku sudah ada yang mewarisi.”

            “Yang diceritakan Karin semuanya benar, aku saksinya. Dan satu hal lagi luka di perut Kalai tidak memungkinkan Kalai berzina dengan Ramebete. Kini luka itu sudah sembuh, hanya memerlukan waktu beberapa hari lagi untuk kering. Kalai akan normal kembali dan sanggup berhubungan dengan isterinya.” Tutur Tutumole.

            Tak ada komentar dari warga.

            “Bagaimana dengan pisau di dada Tude, menurut Kalai dia tidak melihat pisau di dada Tude. Kalai berbohong, karena pisau itu benar-benar ada dan dicabut Sousoulol disaksikan orang banyak, pisau siapa itu?” Tutur Jangu dengan suara keras.

            Mabungkas mengambil pisau dimaksud yang dibungkus daun pisang dan kain. Dia mengacung pisau. “Milik siapa pisau ini?”

            “Itu pisau milik aku.” Karin berseru.

            Tutumole memotong. “Ceritakan bagaimana pisau bisa menikam dada Tude?”

            Karin memandang suaminya.

Kalai mengangguk, “ceritakan sebenarnya!”

            “Ketika aku di rumah mertua, Kalai pulang ke Waijoi lebih dahulu, kupinjamkan pisau kepadanya. Ketika aku datang ke Waijoi, Kalai melapor pisaunya hilang jatuh sewaktu bekerja di masjid. Dia mencari tetapi sia-sia, pisau lenyap.” Tutur Karin.

            Tofor teriak sengit. “Lagi-lagi Lingon ini berbohong, mengarang cerita pisau hilang, katakan jujur bahwa pisaumu dipinjam Kalai dan pisau itu nancap di dada Tude, bukti Kalai menikam Tude, Kalai membunuh Tude!”

            Kalara mengangkat tangan. “Pisau itu benar-benar hilang waktu mengerjakan perbaikan masjid. Aku jadi saksi, aku ikut mencari tetapi sia-sia. Tanyakan kepada Getenpiri dan Murutu, keduanya ikut membantu Kalai mencari pisau. Waktu itu Kalai menggerutu bahwa pisau itu milik isterinya, dia malu jika benar-benar hilang.”

            Tutumole bertanya kepada Getenpiri dan Murutu. Keduanya membenarkan cerita Kalara. “Suami isteri Mikala dan Katina ikut mencari, juga sia-sia.” Tukas Kalara.

            “Pisau ditemukan seseorang, mungkin dia yang menusuk Tude.” Tegas Tutumole. “Aku tegaskan Kalai benar-benar tidak melihat pisau di dada Tude, karena apa? Karena pisau itu ditikamkan seseorang setelah Tude mati. Ditikamkan setelah Kalai pergi mengejar Tabale. Buktinya, tidak ada bekas darah sekitar luka, artinya pisau menusuk dada setelah darah Tude membeku, tentu saja tidak ada darah yang keluar.”

            Terdengar komentar warga, simpang siur.

            “Aku sependapat dengan Sousoulol karena aku berada disisinya saat mencabut pisau dan memberikan kepadaku. Tak ada bekas darah, artinya orang itu menusuk dada Tude setelah Tude mati sekian lama. Siapa orang itu? Kupikir dia tidak akan berani maju dan mengaku, mungkin orang itu punya urusan dendam dengan Kalai dan berusaha menyebar fitnah.” Kata Mabungkas.

 “Bapak Kapitan, boleh aku minta kembali pisauku?” Tukas Karin.

            Mabungkas menyerahkan pisau. “Siapa pencuri pisau ini tidak akan terungkap, orang itu pengecut dan penyebar fitnah! Semoga dia terkutuk.”

Tofor bangkit dari duduk, berdiri dengan angkuh, Tangannya menunjuk Kalai. “Urusan Tude dan Ragota selesai.  Kini urusan Kalai dan Ramebete. Kenyataan Kalai dan Ramebete hidup bersama di tempat sunyi selama duapuluh hari. Pasti terjadi zina, mustahil mereka tidak berzina. Borfakalak harus membersihkan aib zina ini.”

            “Aku mendukung tuduhan Tofor.” Seru Jangu dengan suara keras. “Aku melihat sewaktu pekerjaan masjid, waktu itu Karin masih di kampung mertuanya, Ramebete melayani Kalai, mengantar makanan dan duduk berdekatan sambil bercerita. Itu bukti keduanya saling mencinta. Aku menuntut Kalai dihukum cambuk dan diusir ke hutan selama-lamanya. Seorang bejat moral tidak boleh menetap di Waijoi.”

            “Lantas aku Ramebete, apa hukumanku?” Ramebete berseru tidak kalah keras. “Mengapa kamu pisahkan hukuman hanya kepada Kalai, kamu tidak berani mengusul menghukum aku, pasti kamu takut ayahku, kamu takut semua kerabatku memburu kamu. Kamu licik, menghindar permusuhan dengan keluargaku. Kamu tahu kerabatku dari Mere dan Tidore akan memburumu seperti memburu menjangan di hutan. Kamu dengar tadi ancaman paman Karim, mereka akan mencari kamu. Tak ada tempat kamu sembunyi di tanah Kao.

            “Aku tidak menuntut kamu karena kamu perempuan.” Tukas Jangu berdalih.

            “Huh kamu memang pengecut, benarlah cerita Karin, kamu memang pengecut.” Suara Ramebete bergetar saking kesalnya dituduh berzina.

            Karin bangkit berdiri. “Kalai dan Ramebete tidak ada hubungan cinta! Ketika aku kembali ke Waijoi, Ramebete menutur dia melayani Kalai makan dan minum karena perintah ayahnya. Dia bertutur dengan Kalai sebagai teman,  tentang hutan dan kehidupan petarung. Lagipula mereka tidak pernah duduk  berdua selalu ada orang ketiga Kalara atau Murutu atau Getenpiri atau ibu Seruni.”

Karin berhenti sesaat lalu melanjutkan. “Jangu! Sekarang katakan kepada seluruh warga, bahwa kamu menuduh dan memfitnah Kalai karena dendam. Kalai memukul kamu dengan keras dalam tarung satu lawan satu. Kamu jatuh terkapar di tanah, kamu pecundang yang memalukan. Harusnya kamu bersyukur Kalai tidak membunuhmu. Malam itu aku yang mendesak Kalai menerima tantangan dan taruhanmu, karena aku tahu persis kekuatan Kalai, kamu ibarat  anak kecil di mata Kalai. Kamu tidak juga sadar, masih saja kamu memusuhi aku dan suamiku, kamu itu petarung macam apa?”

            Mabungkas mengangkat tangan. Tetapi Karin menukas. “Kapitan, aku mohon ijin menyelesaikan urusan ini dengan Jangu, aku juru bicara suamiku, Kalai tidak pandai bicara seperti Jangu. Mohon kapitan memberi ijin.”

            Tidak berdaya menatap mata biru yang bening dan yang berkaca-kaca air mata, kapitan adat mengangguk. “Gunakan waktumu Karin.”

            Karin memandang suaminya. “Lai suamiku, aku tidak berani memerintah kamu sebab kamu suamiku, jadi aku hanya memohon. Berjanjilah tidak marah, janji tidak membunuh Jangu. Kamu bunuh banyak petarung demi melindungi aku, lima petarung Lingon, empat petarung pesisir dan juga Berebere. Kini biar kuselesaikan urusanku dengan Jangu, berjanjilah Lai kekasihku.”

            “Aku berjanji.” Tegas Kalai tanpa keraguan.

( Bersambung eps 43 )


Comments


  Verification Code

  Name

  Email

  Homepage





Image Gallery

Service Overview

Curabitur sed urna id nunc pulvinar semper. Nunc sit amet tortor sit amet lacus sagittis posuere cursus vitae nunc.Etiam venenatis, turpis at eleifend porta, nisl nulla bibendum justo.

Contact Us


E-mail: info@johnhalmahera.com