Namaku Retno 1.7

Posted on 15 Januari 2017 ( 0 comments )


Namaku Retno 1.7

Nama itu tercetus begitu saja dari mulutnya. “Retno! Namanya Retno.”

Tidak saja ayah ibunya yang kaget, Arya sendiripun kaget. Saat berikut dia tawa dalam hati. “Aneh sekali, tahu-tahu saja nama Retno terlontar dari mulutku.”

“Retno? Retno siapa?” Potong Sri Dewi antusias.

“Aku mengenalnya di Surabaya, hari Sabtu kemarin.”

“Sabtu ketemu Retno, hari ini Maya kamu lepas?” Potong Sumantri.

“Tidak benar begitu. Hubungan dengan Maya cukup lama kupikirkan, telah kuputuskan dua pekan kemarin, pemberitahuannya tiga hari lalu dan tadi malam. Mengenai Retno, dia masih dalam proses pendekatan.” Tiba-tiba Arya teringat janjinya pada Retno, akan menelpon si gadis setiba di Jakarta.

Kini Sumantri bisa tertawa. “Perjanjian tetap berlaku. Lakukan pendekatan pada Retno, tetapi perjanjian kita tidak ada perubahan. Satu bulan waktumu atau aku akan mencari gadis pesantren di Solo atau Jogja. Ingat tidak perlu cinta-cintaan seperti katamu, kalau cocok secara fisik dan dari keluarga baik-baik, lamar dia!”

“Mama perlu mengenal Retno dan juga keluarganya. Bawa dia kemari, kenalan sama orangtuamu.” Kata Sri Dewi, suaranya mengandung rasa haru dan harapan.

“Sepintas aku melihat Retno bukan dari keluarga kaya, mungkin dari ekonomi lemah. Apakah ini hambatan?” Arya menjajagi pendapat orangtuanya.

Sumantri menatap putranya, tajam. “Sejak kapan kita sekeluarga berpandangan sempit seperti itu, memandang manusia dari hartanya. Aku selalu memberi contoh, menghargai manusia karena ahlak dan moralnya, bukan sebab kaya atau miskin.”

“Mama juga sependapat, pokoke wanita itu dari keluarga baik-baik, agamanya kuat dan punya kepribadian. Kamu yang kawin, kamu yang pilih.” Tukas Sri Dewi.

“Besok kamu jadi ke Sydney? Pulangnya kapan?” Tanya Sumantri.

“Jadi. Besok Selasa berangkat. Rabu dan Kamis rapat, Jumat pulang Jakarta, tapi mungkin aku terus ke Surabaya. Senin baru pulang sini lagi.”

“Ke Surabaya, bisnis apa lagi?” Sri Dewi ikut bertanya.

“Kalau jadi sih mau ketemu Retno.” Arya tertawa melihat orangtuanya saling pandang. “Sayang sekali aku ndak bisa mengantar Papa dan Mama, aku berangkat Selasa, Papa en Mama berangkat Rabu.”

“Yang penting nanti malam kamu hadir ikut membaca doa selametan, banyak orang yang diundang Sulis dan Murni.” Kata Sri Dewi.

“Nanti kita berdoa di Kabah supaya kamu dapat jodoh yang cocok dan nikah secepatnya.” Airmuka Sumantri berubah serius. “InsyaAllah pulang umroh, Papa dan Mama sudah kenalan dengan calonmu, kalau tidak, yah cari gadis pesantren, iyatohk?”

      “Gadis-gadis dari pesantren yatim juga banyak yang cantik. Pastinya mereka akan manut pada suami. Apalagi ada jaminan dari sang kiyai bahwa akhlaq, budi pekertinya bagus.” Tutur Sri Dewi.

      “Aduh Mam cari  isteri itu gampang, jaman sekarang orang cari jodoh lewat iklan di koran atau internet.” Arya tertawa melihat mimik cemberut Mamanya.

***

Senin pagi itu Retno berangkat kantor tidak seperti biasa. Ada sesuatu dalam pikiran yang mengganggunya. Semalaman dia sulit memejam mata, tidak biasanya, paras Arya Priambodo lalulalang dalam benaknya.

      Laki-laki itu tidak tampan tapi good-looking. Tubuhnya atletis, tinggi ramping sekitar satu delapan puluh dua. Kulitnya sawo matang tapi bersih. Rambutnya cepak. Hidung agak mancung, ada bekas luka di batang hidungnya. Mulut lebar, bibir tebal. Matanya bening, alis dan bulu mata tebal. Keningnya lebar. Pada pandangan pertama kesannya menarik. Pada tahap berikutnya  tampak lelaki itu macho dan matang.

      “Gaya bicaranya memperlihatkan percaya diri dan sifat ngemong. Aku suka lelaki yang ngemong, yang melindungi isterinya dan bertanggungjawab. Sekilas analisaku, dia lulus seleksi awal.” Gumam Retno dalam hati.

        Ditengah perjalanan, masih didalam mobil angkutan umum, Retno merasa kesal. Dia kesal karena Arya belum menelponnya padahal janji lelaki itu akan menelponnya setiba di Jakarta. “Sekarang hari Senin, kemarin Minggu seharian dia punya waktu menelponku, tetapi tidak nelpon. Apakah dia lupa? Apakah dia hanya mengenalku numpang-lewat? Melantai di Sabtu malam itu tidak berkesan padanya? Apakah hanya kenalan dan dia merasa tak perlu ada kelanjutan? Benarkah dia pembohong, perayu gombal? Lantas apa yang terjadi dengan diriku? Apakah aku menyukainya? Benar aku menyukainya. Apakah ini awal cinta, seperti kata-kata Martina?”

      Begitu memasuki ruang kantor, duduk ditempatnya, Retno memutuskan akan menelpon Arya pada jam istirahat nanti. “Tidak perlu malu, jaman sekarang jaman wanita mengejar lelaki, cuma aku harus cerdas. Harus tidak kentara kalau aku mengejarnya, nanti aku dipandang enteng, diremehkan. Aku harus jaga martabatku. Yah aku ingat janjinya mau mencicipi lontong mi, itu saja jadi alasanku menelponnya. Pura-pura menanyakan jadi ndak makan lontong mi?” Retno tertawa dalam hati.

      Jam setengah sebelas, saat dia sedang melayani seorang tamu yang memesan tiket ke Amsterdam, hapenya berbunyi. Dia membaca layar. “Arya”

      Jantungnya berdegup kencang, darah membersit diwajahnya.

      “Hallo, Flyme di sini,”suaranya ramah dan ceria meskipun dadanya bergemuruh.

      “Hai aku Arya.”

      “Iyah aku tahu, aku kenal suaramu Mas. Apa kabar Mas Arya, hari Minggu kemarin kamu jalan-jalan kemana?”

      “Di rumah, makan tidur, nonton tivi, video, dengar lagu, kerjain pekerjaan kantor yang belum selesai. Memang di rumah tapi cukup sibuk yah?” Tutur Arya.

      “Di rumah seharian tapi lupa nelpon aku. Tapi ah buat apa jadi persoalan, pokoke dia sudah menelpon aku, itu langkah bagus.” Katanya dalam hati. Lalu dia berkata dengan lemah lembut. “Maaf yah Mas, aku sibuk banget, banyak langganan yang memesan tiket yang harus kulayani. Nanti jam istirahat, jam duabelas kamu nelpon aku lagi atau aku yang nelpon kamu, jangan marah yah, kamu mau yah?” Kata Retno manja sambil tersenyum malu melihat tatapan tamunya, wanita separuh baya, yang tersenyum nakal.

      Okay Dik Retno, nanti aku yang nelpon kamu. Jam setengah satu!”

      Retno menutup hapenya.

      Tamu wanita itu, Nyonya Tantowi,  tersenyum. “Pacarmu? Atau suami?”

      Retno tersenyum malu. “Calon pacar, Bu.”

      Wanita paruh baya yang masih cantik itu memajukan wajahnya lalu berbisik lirih. “Jangan malu-malu menelponnya lebih dulu, jaman sekarang jaman wanita mengejar lelaki, karena jumlah wanita lebih banyak dari lelaki.” Tamu itu tertawa lirih. “Ibu dulu juga begitu, ketika aku tahu bapak naksir aku, terus saja aku mengejarnya, bahkan menggoda. Hasilnya, sukses, bapak jadi suamiku.”

      “Terimakasih Bu. Sekarang saya periksa jadwal penerbangan yang ibu minta.” Jari-jari lentik Retno mulai menari diatas keyboard. Dia bekerja dengan semangat baru dan harapan baru.

( Bersambung 1.8 )

 


Comments


  Verification Code

  Name

  Email

  Homepage





Image Gallery

Service Overview

Curabitur sed urna id nunc pulvinar semper. Nunc sit amet tortor sit amet lacus sagittis posuere cursus vitae nunc.Etiam venenatis, turpis at eleifend porta, nisl nulla bibendum justo.

Contact Us


E-mail: info@johnhalmahera.com