Namaku Retno 1.12

Posted on 23 Januari 2017 ( 0 comments )


Namaku Retno 1.12

“Tidak jadi.” Kata Arya. “Kupikir sebaiknya aku kerja, menyelesaikan laporan  dari Sydney. Sekarang mandi air hangat, lalu pesan makan malam. Setelah itu nulis laporan, dan kira-kira jam sembilan atau sepuluh aku telpon kamu, boleh?”

“Boleh. Kamu mau ditemani ngobrol?” Kata Retno. “Oh iya, sebelum aku lupa, besok adik bontotku jemput kamu di hotel supaya tidak kesasar ke rumahku. Nomor kamarmu tujuh kosong sembilan, aku ndak keliru?”

“Benar, tujuh kosong sembilan. Jam berapa aku dijemput?”

“Enaknya jam berapa, mungkin kamu mau bangun siangan?”

“Jam duabelas?” Tanya Arya.

“Oke jam duabelas saja. Mas Arya tutup telpon dulu iya, aku mau sholat.”

Arya menutup hapenya. Jantungnya berdebar. Suara medok Surabayaan yang merdu manja itu telah menghibur sanubarinya. Tanpa sadar dia senyum ke foto Retno di layar laptop, kemudian melangkah ke kamar mandi.

Lama dia berendam dalam air hangat yang dicampur losion sabun wangi. Matanya terpejam, pikirannya rileks.

“Air itu kehidupan, inti sari hidup seperti halnya enerji matahari. Tak pernah terbayangkan bagaimana bumi bisa hidup tanpa air.” Saat-saat seperti itu, seakan semua beban hidupnya keluar dari tubuh dan larut dalam air. Dia percaya air menyerap semua kepenatan, tak hanya keletihan fisik yang hilang melainkan juga tekanan hidup. Target-target perusahaan yang harus dicapai, menggantung terus dibenaknya dan baru terlepas saat dia berendam dalam air hangat.

***

Retno ingin memandang lelaki itu lagi. Kangen? Tidak. Dia membantah. Bukan kangen. Tetapi ingin tahu. Kemarin itu Arya hanya sosok lelaki biasa yang baru dikenal. Lelaki biasa. Benarkah lelaki biasa?

Sekarang Arya bukan lagi lelaki biasa. Arya kini mulai mengisi lamunan Retno. Arya telah mengisi relung hatinya yang kosong yang selama ini menunggu seseorang.

“Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Tidak mungkin. Tetapi dansa dengan pria yang bukan mahram, telah lama tak pernah kulakukan. Malam itu aku membiarkan Arya mendekapku.“ Retno bertanya pada diri sendiri.

“Kukira dia orang biasa. Ternyata kerjanya di perusahaan asing, rapatnya di Sydney. Pastinya dia lulusan luar negeri. Nginapnya di Sheraton yang satu malam paling murah satu juta rupiah. Nginap dua malam, tambah makan dan lain-lain. Jangan-jangan dia anak orang kaya. Apakah dia mau pacaran sama aku yang ekonomi lemah? Pada umumnya orang kaya mencari jodoh dari sama kelas, tapi begini lebih baik, sejak dini dia bisa melihat kondisi keluargaku, jika mau dengan gadis miskin yah aku mau saja. Tapi kalau ndak yah ndak apa-apa mumpung belum kebablasan jatuh cinta.”

Retno menganggap Arya teguh memegang janji. Melihat caranya membelanjakan uangnya, membatalkan tiket ke Surabaya bukan hal yang sulit. Tetapi dia memaksa diri terbang juga ke Surabaya meskipun dia sangat letih. “Apakah sekadar menepati janji atau karena dia menganggap aku istimewa?” Bisiknya.

Jantungnya berdebar kencang ketika timbul pikiran liar. ”Inikah pacaran? Bagiku pasti pengalaman unik, pacaran untuk pertama kalinya. Ataukah hanya teman biasa, yang mungkin dalam satu bulan ke depan dia telah melupakan aku?”

      Sudah jam sembilan duapuluh lima. Retno mondar mandir di kamar, sekali-sekali melirik hapenya di meja hias. Dia gelisah, ingin menelpon duluan tapi ditahannya.

      Teringat kata wanita tua, nyonya Tantowi kemarin, jaman sekarang wanita yang mengejar lelaki karena populasi wanita jauh lebih banyak.

      “Tetapi aku malu nelpon duluan. Jangan-jangan dia ketiduran. Mungkin terlalu capek. Kasihan juga dia memaksa diri datang ke Surabaya hanya karena janji denganku. Apakah dia naksir aku?” Kata hatinya.

      Terdengar lagu unchained melody dari hape. Retno kaget. Jantungnya berdebar kencang. Cepat menyamber hapenya.

      “Hallo …” Suara Retno bergetar.

      “Hai Dik Retno, lagi ngapain?”

Retno gugup, tak mau mengaku bahwa dia sedang melamun sang Arjuna. “Baca buku sambil tiduran di kamar.” Katanya berbohong.

“Buku apa?” Arya bertanya.

Retno tidak kehabisan akal, menjawab spontan. “Bukan buku, tapi koran Jawa Pos.”  Tadi sore dia sudah membaca koran dimaksud.  

“Ada berita yang menarik, selain terosris dan korupsi?”

Retno cepat menyahut. “Besok ada tamu khusus yang hendak cicipi lontong mi masakan Ibu Retno di Gang Peneleh...hi..hi..” Retno tertawa geli akan guyonannya.

 “Ibu Retno yang ayu kemayu itu? Gadis Surabaya yang telah mengguncang jantung seorang duda tua yang buruk rupa?”

“Duda yang mana? Di negeri kita banyak lho duda-duda?”

“Lho duda yang terbang jauh dari Sydney Jakarta Surabaya, duda yang asal Jakarta itu.” Arya senang bisa mengeluarkan isi hatinya meskipun samar-samar.

Ucapan terang-terangan itu membuat Retno terdesak. Pipinya memerah, malu, meskipun di kamar itu hanya dia sendirian. “Mosok jantungnya sampai terguncang, kan baru ketemu satu kali, lagipula dia belum tahu kejelekan si Retno itu.”

“Ah Retno itu ndak punya kejelekan, pribadinya bagus orangnya pun cantik.”

Retno tertawa. “Benar-benar kamu suka memuji wanita, iya Mas?”

“Lho memang benar, sesuatu yang nyata cantiknya ndak bisa dikatakan tidak cantik. Itu bukan pujian tetapi ungkapan akan kenyataan.”

Retno mengalih pertanyaan. “Mas, kamu sudah selesaikan laporanmu?”

“Laporan apa? Makan lontong mi belum kejadian malah sudah harus bikin laporan  lontong mi.” Arya menggoda.

“Bukan lontong mi, kerjaanmu yang di Sydney itu, katamu mau kamu selesaikan.”

“Belum selesai. Saat ini sedang pause.”

“Kamu ndak capek? Katamu mau tidur sorean.” Retno mendesak.

“Aku sulit tidur. Biasanya hanya empat atau lima jam sehari. Kalau tidur jam tujuh malam misalnya, pasti terjaga jam duabelas atau jam satu. Lalu aku mesti bergadang bekerja sambil menunggu subuh. Habis subuh kalau hari libur, aku nyambung tidur, nah bisa-bisa aku kesiangan, nantinya adikmu datang aku masih pulas.”

“Memangnya pekerjaanmu banyak, sehingga harus dibawa pulang ke rumah.”

“Kebiasaan. Ini mungkin yang membuat isteriku ndak betah. Dia sering komplain karena maunya tidur dalam gelap, sedang aku butuh penerangan untuk bekerja.”

“Memangnya kamu kerja di kamar tidur?” Tanya Retno.

“Iya. Kalau di kamar kerja, begitu ngantuk lalu melangkah ke kamar, kantuknya hilang lagi. Jadi kalau malam lebih enak kerja di kamar tidur, begitu ngantuk langsung tidur. Cara begitu bisa cepat pulas.”

“Kalau susah tidur sebaiknya periksa dokter.”

Arya mengalih pembicaraan. “Besok hidangannya apa saja? Lontong mi, nasi pecel terus apa lagi.”

Retno bijaksana, tahu Arya tidak mau kisah mantan isterinya berlanjut. “Besok saja lihat sendiri, eh kamu suka menu Eropa, kayak spageti, suka? Aku bisa bikin.”

“Lho sudah janji lontong mi, dadakan mau ganti. Aku mau lontong mi, dan makanan Jawa lainnya. Spageti ndak ah.”

“Kalau begitu beres Mas. Besok kuhidangkan banyak masakan Jawa Timur yang aneh tapi lezatnya ampun-ampun.”

“Apa maksudnya ampun-ampun, enak atau ndak enak?”

“Yah enak dong, wah enaknya sampe yang makan bisa keblinger.” Retno tertawa.

“Dik Retno, aku ahli makan, ahli mencicipi masakan, apalagi masakan Jawa, di Jakarta aku punya restoran aneka masakan Jawa Timur.”

“Benarkah, kamu punya resto itu? Laris? Banyak tamunya?”

“Laris. Kalau jam makan siang, terkadang tamu antri, padahal restonya besar bisa menampung seratus tamu.”

“Wah besar juga, repot melayaninya dong.”

Arya tertawa. “Kena tipu kamu?”

Retno menjerit. “Yang bohong yang mana, punya restoran masakan Jawa atau seratus tamu yang antri.”

“Tamunya banyak, maksimal tigapuluh kalau sedang rame. Sabtu depan, aku buka cabang baru di kawasan Kali Malang. Aku sedang mencari manajer, belum ada orangnya untuk posisi itu, kamu punya teman untuk posisi itu? Ini serius.”

“Aku saja Mas, aku sarjana, supel pinter bergaul, jago masak, pinter ngitung uang dan yang penting, aku anti korupsi.” Retno tertawa.

“Kebetulan kalau kamu mau, artinya kamu bersedia pindah Jakarta?”

“Kena kamu Mas. Satu satu…. Ha…ha.. ha..” Retno tertawa senang. “Aku emoh ah pindah Jakarta, kotanya sibuk, rame, serem, banyak penjahatnya.”

“Kalau ada pria ngelamar kamu jadi isteri, terus diboyong ke Jakarta, mau?”

( bersambung 1.13 )

 


Comments


  Verification Code

  Name

  Email

  Homepage





Image Gallery

Service Overview

Curabitur sed urna id nunc pulvinar semper. Nunc sit amet tortor sit amet lacus sagittis posuere cursus vitae nunc.Etiam venenatis, turpis at eleifend porta, nisl nulla bibendum justo.

Contact Us


E-mail: info@johnhalmahera.com